[Mendadak Lontong]
Rakyat sehat negara kuat hanya khayalan, rasanya sulit diwujudkan. Bayangkan saja kalau bangun pagi-pagi ada tukang lontong lewat tapi mahal tak kira-kira, mau batal membeli rasanya kurang enak sudah memanggil, mau tetap melawan harga juga tak enak di kantong yang cuma puluhan ribu perhari pemasukannya, bayangkan lagi kalau lontong sebesar jempol dan panjang setengah jengkal berbandrol tiga ribu limaratus rupiah. Artinya makan dua buah sudah seharga tujuh ribu rupiah, makan empat buah berarti empatbelas ribu rupiah, siapa yang bisa sehat kalau seperti ini? Meski kenyang bukan ukuran sehat, tapi perut keroncongan terlilit harga pastilah sakit. Bayangkan! Ini baru lontongnya, belum bala-balanya yang seharga duaribu limaratus rupiah perbiji. Bayangkan saja.
Kalau ngomong soal zona nyaman dan tak nyaman pasti saya merasa salah memilih zona, padahal masih sama di wilayah Jakarta Barat berbeda dengan di kawasan Tubagus Angke yang serba murah di kawasan Rawa Buaya harga lontong saja benar-benar buaya. Di Angke sarapan nasi uduk cukup empat ribu rupiah sudah ada bala-bala berikut krupuknya, di sini nasi uduk sembilan ribu, harga seperti itu kalau di Angke sudah bisa makan pecel ati ayam.
[Apa kamu bilang? Kerja di sini tidur di Angke? Makan di Angke? Bikin cepet jadi tue bangke, yang bener aje, ngabisin waktu ame biaye. Stres yang ade, ngehe loe. Ngasih solusi gak kire-kire.]
Rakyat sehat negara kuat, rakyat lapar negara tepar. Itu juga kalau semua begitu, untungnya Jakarta bukan hanya berisi orang seperti saya. Jakarta dan Indonesia lebih banyak orang yang kenyang dan sehat. Kalau hanya kuli bangunan seperti saya dan beberapa teman saja yang kelaparan dan mati tercekik harga Insyaallah negara tetap kuat, boleh percaya boleh tidak bukan sulap bukan sihir. Aminkan saja, kalau tidak percaya ya dibayangkan saja.
-------------------------------------------------------------------
Rawa Buaya, Jakarta.
--Djenar Abunetti--
djenarabunetti@gmail.com
Sent from Nokia Windows Phone.
Rakyat sehat negara kuat hanya khayalan, rasanya sulit diwujudkan. Bayangkan saja kalau bangun pagi-pagi ada tukang lontong lewat tapi mahal tak kira-kira, mau batal membeli rasanya kurang enak sudah memanggil, mau tetap melawan harga juga tak enak di kantong yang cuma puluhan ribu perhari pemasukannya, bayangkan lagi kalau lontong sebesar jempol dan panjang setengah jengkal berbandrol tiga ribu limaratus rupiah. Artinya makan dua buah sudah seharga tujuh ribu rupiah, makan empat buah berarti empatbelas ribu rupiah, siapa yang bisa sehat kalau seperti ini? Meski kenyang bukan ukuran sehat, tapi perut keroncongan terlilit harga pastilah sakit. Bayangkan! Ini baru lontongnya, belum bala-balanya yang seharga duaribu limaratus rupiah perbiji. Bayangkan saja.
Kalau ngomong soal zona nyaman dan tak nyaman pasti saya merasa salah memilih zona, padahal masih sama di wilayah Jakarta Barat berbeda dengan di kawasan Tubagus Angke yang serba murah di kawasan Rawa Buaya harga lontong saja benar-benar buaya. Di Angke sarapan nasi uduk cukup empat ribu rupiah sudah ada bala-bala berikut krupuknya, di sini nasi uduk sembilan ribu, harga seperti itu kalau di Angke sudah bisa makan pecel ati ayam.
[Apa kamu bilang? Kerja di sini tidur di Angke? Makan di Angke? Bikin cepet jadi tue bangke, yang bener aje, ngabisin waktu ame biaye. Stres yang ade, ngehe loe. Ngasih solusi gak kire-kire.]
Rakyat sehat negara kuat, rakyat lapar negara tepar. Itu juga kalau semua begitu, untungnya Jakarta bukan hanya berisi orang seperti saya. Jakarta dan Indonesia lebih banyak orang yang kenyang dan sehat. Kalau hanya kuli bangunan seperti saya dan beberapa teman saja yang kelaparan dan mati tercekik harga Insyaallah negara tetap kuat, boleh percaya boleh tidak bukan sulap bukan sihir. Aminkan saja, kalau tidak percaya ya dibayangkan saja.
-------------------------------------------------------------------
Rawa Buaya, Jakarta.
--Djenar Abunetti--
djenarabunetti@gmail.com
Sent from Nokia Windows Phone.

0 comments:
Posting Komentar