Langit diterangi kilatan-kilatan seperti lampu blitz, langkahku semakin terburu melewati truk-truk yang berbaris paralel, aku harus lebih cepat dari hujan, pikirku. Jalan semakin sempit saja, di sebelah kiri penuh parkiran dan sebelah kanan ada perbaikan saluran, entah pada ayunan yang keberapa, seribu, duaribu mungkin sepuluh ribu seekor kecoa melintas, "kreshh" sepatuku melindasnya, aku dan dia tak sempat saling menghindar, mungkin dia pun sama denganku yang panik dan terburu-buru sebab kilatan-kilatan di langit.
Sang kecoa mati seketika, isi perut dan kepalanya keluar, terburai aku memandang kasihan sejenak sebelum melanjutkan ayunan kaki untuk menggenapkan langkahku hari ini. Langkahku mungkin genap hari ini di angka sepuluh ribu tapi mungkin langkah sang kecoa tidak, mungkin juga lebih, kami sama-sama tak yakin. Langkah sang kecoa berakhir di hitungan ke sekian di alas kakiku. Tapi dunia memang seperti itu, sepertinya harus ada yang mati meski tanpa alasan yang jelas seperti di tempat lain di mana manusia-manusia saling berbunuhan tanpa alasan yang masuk akal, seolah harus ada yang dibunuh meski hanya sekedar menuntaskan rasa jijik, jijik atas agamanya, ideologinya, bahkan hanya karena warna kulit yang jelas bukan kehendaknya. Seolah lebih rendah dari kecoa.
Kilatan cahaya masih menerangi langit Jakarta, kilatan yang membuatku dan kecoa sama-sama terburu menuju sepatu-sepatu.
-------------------------
Pasar Pagi, Jakarta.
--Djenar Abunetti--
djenarabunetti@yahoo.com
Sent from Nokia Windows Phone


0 comments:
Posting Komentar