Lelaki itu terus bergaya lucu, meski awalnya tak ada yang memperhatikan wajahnya yang seperti karet, kepalanya yang gundul, perutnya yang buncit ditambah posturnya yang pendek cepat mengundang tawa orang-orang di taman kota, tak lama orang-orang segera berkerumun, melingkarinya, memotretnya, menertawakan gayanya meski kadang tak membayarnya. Lelaki itu terus bergaya menirukan patung Pancoran, Lurah Semar di saat lain meniru Presiden.
Lelaki itu terus bergaya tak mengenal lelah, gaya telah menjadi bagian hidupnya, "ini tentang pertaruhan hidup dan mati" ujarnya, ia terus bergaya lucu demi memuaskan hasrat cacing di perut buncitnya, juga hasrat tawa penduduk kota yang seperti tak mampu lagi sekedar berbagi senyuman. Lelaki lucu masih melucu, mencoba menertawakan nasibnya sendiri yang lucu di kota lucu, di dunia yang lucu, mencoba menjadi yang terlucu, agar hidupnya bukan sekedar lelucon yang menggelikan atau malah menggelisahkan.
Aku hanya bisa tersenyum pahit, aku seperti melihat bayanganku sendiri, kelucuanku sendiri. Kelucuan-kelucuan yang sama menggelisahkan di matanya. Lelaki lucu terus melucu, membagi sedikit senyuman, kegembiraan, menghidupkan hasrat tawa penduduk kota yang telah lama mati, dan membayarnya dengan kematiannya sendiri.
----------------------
Kota Toea, Jakarta.
--Djenar Abunetti--
djenarabunetti@yahoo.com
Sent from Nokia Windows Phone


0 comments:
Posting Komentar