Abad Jamban?

Kenalan cukup di sosmed (sosial media), pacaran cukup LDR (long distance relationship) nikah cukup di webcam, kerja cukup mengirim artikel ke surat kabar, majalah atau tabloid, main saham atau valas, membuat e-book, belanja cukup di toko online, soal keuangan? sepertinya semua bank bisa online, makan cukup delivery order, horny cukup PS (phone sex) atau cam sex, bertengkar cukup di telepon, anak bisa adopsi, cerai cukup dengan SMS (short message service), semua itu bisa dilakukan sambil duduk atau jongkok di jamban. Zaman terus bergerak, menghimpit sampai kita menyadari bahwa ternyata dunia sama sempitnya dengan kuburan, bisa lebih sempit malah ya selebar closet atau lubang closet. Soal agama? pengajian agama mana saja ada, soal ekonomi, sosial dan politik bisa dikendalikan dari tempat dan waktu yang sama, semua bentuk forum ada dan bisa dimasuki, hanya nyangkul sawah dan nyabit rumput saja yang belum bisa online itupun sudah ada di farmville. Yang benar-benar tak bisa dionlinekan hanya masuk kuburan.

Dunia tak selebar daun kelor dan tak lebih lebar dari kolor. Kita membuat kebijakan sosial, politik dan ekonomi layaknya membuang kotoran di jamban, sesukanya, semaunya, tergantung hasrat dan mood.

Lalu apa makna hidup dan kehidupan ini jika semua bisa dilakukan dari ruangan semacam dan selebar jamban. Manusia dan kesepianya, ketakutanya, keterasinganya mencoba berlari dari kenyataan hasil ciptaanya sendiri, imajinasinya sendiri. Inilah abad jamban, abad yang dimimpikan sejak berpuluh bahkan beratus tahun lalu, dan kita hanyalah sekumpulan kecoa yang berkeliaran di sekitar jamban dan berteriak bangga inilah kemajuan, inilah peradaban, dan menyebut generasi sebelumnya dengan sebutan barbar.
-------------------------------
Kadipaten


--Djenar Abunetti--
djenar.abunetti@gmail.com
Sent from my Nokia