Rongsokan

"Rongsok-rongssok, rongsoknya bu, bangkreng-bangkreng". Teriakan khas tukang rongsok yang dulu suka melintas di gang samping rumahku, dulu semasa aku masih kecil tahun 80-90an. Kadang juga berhenti di halaman depan, menunggu ibu-ibu mencari barang apa saja yang sudah tak terpakai untuk ditukarkan dengan "bangkreng" atau berambang mengkreng, berambang (bawang merah) mengkreng (cabai, rawit). Tak ada timbang menimbang, semua hanya taksiran. Tak selalu bangkreng yang menjadi alat barter, gesek atau ikan asin dan ikan peda juga menjadi alat tukar yang ampuh.

Sekarang pencari rongsok masih tetap ada, namun hanya membawa karung kosong dan timbangan. Kalau dulu hanya laki-laki sekarang perempuan pengumpul rongsokan juga banyak yang melintas. Dulu memang hanya laki-laki karena harus memikul alat tukar berupa bawang cabai dan ikan peda. Sekarang semua selesai dengan uang, mudah dibawa, ringan, tak makan tempat. Cukup dompet. 

Tak di desa tak di kota, sama saja. Mentang-mentang barang rongsok itu laku terutama logam dan lumayan harganya semua hampir "dirongsokkan", jembatan besi-besinya dipreteli, rel kereta di kampungku dulu penuh tiang di sepanjang jalannya kanan kiri, sekarang tak terlihat satupun. Perut memang tak ada lawan, apa saja masuk. Gila, makan besi dan baja!. Dulu tiang-tiang tersebut suka buat mainan anak-anak yang ngabuburit untuk uji ketepatan lemparan batu, kalau tidak ya main getok-getok rel dengan batu, membentuk satu irama.

Di jakarta pun begitu, pagar pembatas jalan dan trotoar, jembatan penyebrangan orang dlsb suka menjadi sasaran empuk tukang pretel, iya tukang pretel karena hobi memreteli. Tukang rongsok yang keliling dengan gerobak dan jual beli barang bekas tentu jauh lebih mulia. Namanya saja sudah beda, pengepul barang bekas dan tukang pretel fasilitas umum. Perut memang tak mengenal tempat.

Saat ini mungkin lebih banyak rongsokan di Suriah dan sekitarnya karena bangunan-bangunan yang hancur akibat perang. Alangkah baiknya kalau tukang-tukang pretel fasilitas umum itu pada pergi kesana, memunguti sisa-sisa bom, siapa tahu ada bom "mejen" (gagal atau telat meledak untuk petasan dalam bahasa Galuhtimuran). 

Bukankah perut tak mengenal tempat?. Sebab lapar itu sesaat, ngawur itu abadi.
------------------------
Galuhtimur, Jawa Tengah.

Djenar Abunetti

Sent from my BlackBerry 10 smartphone

0 comments: