Macet

Kita adalah macet, macet adalah kita. Jangan-jangan kalau mendadak saja yang namanya macet disulap dan hilang dari kehidupan kita, hilang dari Indonesia, kita akan menyalahkan pemerintah atau siapapun baik teman atau musuh, yang penting bisa menyalahkan. Dengan enteng kita akan menyalahkan tetangga kita yang tak membeli mobil, atau paling tidak ngutang motor, becak, gerobak atau apapun yang berroda. Pokoknya yang bisa bikin macet.

Macet adalah kita, tanpa macet kita tak punya alasan telat ngantor yang lebih masuk akal, telat mudik, sampai telat kawin. Iya telat kawin karena kita terlalu lama dan menjadi tua di jalan, terlalu lama membuat wajah-wajah berkerut, bersungut-sungut dan bahkan bertanduk. Dan pikiran menjadi tak santai lagi, klakson dan teriakan-teriakan kotor adalah musik termerdu. Sepanjang hari, sepanjang tahun. 

Kita adalah macet, macet pikiran, macet tindakan. Macet pikiran itu seperti bangga bermacet-macet, berlama-lama dengan pikiran yang seperti itu saja dari tahun ke tahun. Tahu bikin macet parkir sembarangan, semaunya di jalanan, seolah jalanan milik mbahnya. 

Macet tindakan itu kayak orang-orang di tivi, ngomong jago banget, jago nyalahin, jago apa sajalah yang penting jago atau paling tidak kelihatan jago, sok jago tapi sebatas ngomong. Setelah itu ya pulang dan tidur, padahal jalan pulangnya juga macet, yang penting komisi gak macet pikirnya.

"Dan nikmat macet mana lagi yang hendak kau dustakan?", (Al-Dishub, ayat semaumu).

Dan hendaklah kamu bermacet-macet dengan gembira sampai karatan, tua dan mati seperti kaum sebelum kamu. (Al-polantas, ayat prit jigo)
-------------------------------------------
Galuhtimur, Jawa Tengah.

Djenar Abunetti​​‎

Sent from my BlackBerry 10 smartphone

0 comments: