Jum'at saya pura-pura check in di Istiqlal, minggu saya pura-pura check in di Katedral. Keduanya adalah jalan, dan saya memilih sabtu dan jalan di antara Istiqlal dan Katedral, tanpa kepura-puraan. Karena dari sana saya menemukan lebih banyak arah, saya bisa ke stasiun Juanda yang adem, Harmoni yang sibuk, hot-nya Lokasari saat malam, luasnya areal Monas, seremnya terminal Pasar Senen, dan gemerlap Pasar Baru. Dan menurutku setiap jalan berujung kesunyian, entah menurutmu. Hidup memang bukan soal nurut dan tidak nurut bukan? Bukan? Ya sudah.
"Jika agama adalah jalan maka jalan-jalan adalah agamaku".
Tapi hati-hatilah jika jalan (ber)agamamu dipenuhi slogan, jargon, tagline atau apapun namanya yang semacam "Kembali ke quran dan hadis" yang bisa diartikan "kembali ke pertikaian", karena itu maka saya tawarkan slogan "kembali ke laptop"-nya Tukul Arwana, yang bisa juga ditafsirkan "kembali ke urusan masing-masing", namanya juga "urusan", urusan tak melulu soal sorga neraka, sibuk cari duit buat keluarga malah lebih bagus ketimbang sibuk ngurusi sorganya, nerakanya dan hidupnya orang lain. Tak jelas juntrungannya. Ayo, kembali ke laptop!.
Dan katanya semua agama yang ada di Indonesia sama-sama mengajarkan saling mengasihi sesama manusia, dan jika kita melaksanakan ajaran-ajaran tersebut maka secara tidak langsung saat itu kita menjadi pengikut Nabi Muhammmad, Yesus, Sidharta, Lao Tze dlsb dalam waktu yang sama. Dalam waktu yang sama pula kita menjadi muslim namun "kafir", menjadi domba yang taat dan "tersesat" sekaligus dst. Menjadi kafir dan penuh cinta sepertinya lebih baik ketimbang beragama namun penuh kebencian, masuk neraka bersama orang-orang yang dikasihi sepertinya lebih enak ketimbang masuk surga namun kesepian. Bukankah begitu? Bukan? Ya sudah, tak perlu marah kalau pun bukan.
Bukankah kita yang harus menyesuaikan dengan agama dan bukan sebaliknya?, betul, masalahnya apa itu agama? Bagaimana beragama yang baik dan benar? Jadi? Kasihilah sesama manusia.
Dan setiap orang yang beragama harus (meminjam bahasa islam) Istiqomah, istiqomah tema pengajian hari ini baru saja selesai, saya dengar dari toa masjid yang tak pernah saya datangi. Istiqomah artinya konsisten, ajeg, tetap, mau rugi mau untung tetap nyembah Gusti Allah, mau banjir mau mati lampu tetap nyembah Gusti Allah. Tak pasang surut imannya, tak pasang surut mengasihi sesamanya. Jangan gara-gara jagoan pilgubnya kalah lalu kita jadi membenci orang lain.
Tapi orang beragama kadang juga menggelikan, umpamanya, nuduh golongan yang lain kafir, bukan islam, tapi giliran ada ilmuwan dari golongan tersebut ramai-ramai diklaim golongan sendiri "ilmuwan muslim" nih, diiderin kemana-mana. Padahal sebelumnya paling kenceng ngumpat, "kafir" pada golongan si ilmuwan. Ini sepertinya cuma mau untungnya. Tapi saya juga tidak tahu untungnya apa, di mana. Sudah saya bilang "sepertinya".
Dan saya pikir orang islam semua istiqomah, yang sunni maupun yang syiah, yang cingkrang atau pun yang kedombrangan, yang miara jenggot atau yang tak miara jembut, yang jidatnya item sampai yang tak punya jidat, yang ijo, yang biru, yang merah, yang kuning. Semua istiqomah, konsisten, ajeg. Ajeg ribut, ajeg kisruh. Agama memang hanya sumber konflik, saya pun berkonflik dengan diri saya sendiri akankah tetap memeluk islam atau jadi agnostik. Tapi mudah-mudahan saya masih istiqomah, tetap, ajeg, iya konsisten tak pernah ke masjid. Bukan begitu? Bukan? Syukur alhamdulillah kalau bukan.
Dan jika kita sudah tak lagi mampu mengasihi sesama manusia, itu lebih horor dari "friday 13". Selamat menunaikan ibadah sholat jum'at..
*foto dari Time BBM Chanel.
------------------------------------
Galuhtimur, Jawa Tengah.
--Djenar Abunetti--
Sent from my BlackBerry 10 smartphone


0 comments:
Posting Komentar