14/01/2014
11:54
Nguping obrolan di warung gado-gado:
"Jakarta amblas 20cm/tahun, bla bli blu blo."
"Bla bli blu blo," temannya menyahut.
"Iya, bla bli blu blo," yang pertama meyakinkan temannya.
"Ah masa sih?", pikirku.
Sebuah suara dari warung soto dengan yakin dan mantap mengatakan seperti itu, dan saya pun yakin daun telinga yang masih menempel di kepala dan komponen di dalamnya masih normal dan tak salah mendengar, meski kemungkinan salah dengar itu tetap ada sebab posisiku terhalang tirai dari spanduk bekas sebagai pembatas teritorial warung soto dan warung gado-gado. Dan tiba-tiba saja saya merasa bersalah karena tak punya pengetahuan seluas itu dan merasa kalah dari bangsa lain dalam soal menangani bencana yang itu juga masih hasil "nguping" di berita-berita, atau pengalaman orang-orang yang pernah ke luar negeri dan tinggal di sana.
Mengapa kita seperti tak punya kemampuan mengatasi banjir sedangkan kita punya banyak ahli, sampai si ahli yang kurang perhatian pemerintah ini blusukan ke warung gado-gado. Anganku segera beralih, sebab ada cabai yang masih utuh tergigit, ini pasti bukan buatan ahli gado-gado. Sialan. Kita tak kekurangan ahli hampir di semua bidang, dan para ahli banjir dadakan dan ahli-ahli lainnya sering muncul di televisi, di warung gado-gado, di pangkalan ojek dan di kedai kopi pinggir jalan sampai sekelas Hard Rock. Ahli banjir dadakan seringkali lupa bahwa sebelumnya Ia ahli dalam membuang sampah sembarangan, dan ahli "ngeyel" ketika dihimbau untuk tidak menempati kawasan hijau penyerap banjir, Ia segera pindah keahlian ketika keahlian sebelumnya berdampak pada dirinya dan orang lain, dan ujungnya ahli menyalahkan, ahli menghasut yang lain untuk satu suara dengannya.
Ahli-ahli seperti inilah yang kita punya, ahli yang sepertinya dari jebolan universitas abrakadabra. Kita memang butuh ahli yang sesungguhnya di bidang apa saja untuk kemajuan kota ini, negara ini dan bangsa ini. Dan ahli kerjasamalah yang paling sulit dicari, sebab kerjasama seringkali tak menguntungkan dari berbagai segi, maka ahli-ahli tersebut seperti khawatir namanya tak terkenal karena ada banyak nama tentunya dalam kerjasama, khawatir tak kebagian jatah karena jatah sekian harus dibagi sekian banyak orang. Maka kerja sendiri-sendiri jadi pilihan meski hasil seringkali tidak nyambung dengan yang lain, yang penting terkenal dan amplop tebal. Dan marilah kita menikmati dan merasakan hasil kerja yang seperti gado-gado dengan beberapa cabai yang masih utuh dan mengganggu di mulut kemajuan, mulut yang maju tangan di belakang. Offside.
--------------------------------------------------
Bojong Indah, Jakarta.
--Djenar Abunetti--
djenar.abunetti@gmail.com
Sent from Nokia Windows Phone.
11:54
Nguping obrolan di warung gado-gado:
"Jakarta amblas 20cm/tahun, bla bli blu blo."
"Bla bli blu blo," temannya menyahut.
"Iya, bla bli blu blo," yang pertama meyakinkan temannya.
"Ah masa sih?", pikirku.
Sebuah suara dari warung soto dengan yakin dan mantap mengatakan seperti itu, dan saya pun yakin daun telinga yang masih menempel di kepala dan komponen di dalamnya masih normal dan tak salah mendengar, meski kemungkinan salah dengar itu tetap ada sebab posisiku terhalang tirai dari spanduk bekas sebagai pembatas teritorial warung soto dan warung gado-gado. Dan tiba-tiba saja saya merasa bersalah karena tak punya pengetahuan seluas itu dan merasa kalah dari bangsa lain dalam soal menangani bencana yang itu juga masih hasil "nguping" di berita-berita, atau pengalaman orang-orang yang pernah ke luar negeri dan tinggal di sana.
Mengapa kita seperti tak punya kemampuan mengatasi banjir sedangkan kita punya banyak ahli, sampai si ahli yang kurang perhatian pemerintah ini blusukan ke warung gado-gado. Anganku segera beralih, sebab ada cabai yang masih utuh tergigit, ini pasti bukan buatan ahli gado-gado. Sialan. Kita tak kekurangan ahli hampir di semua bidang, dan para ahli banjir dadakan dan ahli-ahli lainnya sering muncul di televisi, di warung gado-gado, di pangkalan ojek dan di kedai kopi pinggir jalan sampai sekelas Hard Rock. Ahli banjir dadakan seringkali lupa bahwa sebelumnya Ia ahli dalam membuang sampah sembarangan, dan ahli "ngeyel" ketika dihimbau untuk tidak menempati kawasan hijau penyerap banjir, Ia segera pindah keahlian ketika keahlian sebelumnya berdampak pada dirinya dan orang lain, dan ujungnya ahli menyalahkan, ahli menghasut yang lain untuk satu suara dengannya.
Ahli-ahli seperti inilah yang kita punya, ahli yang sepertinya dari jebolan universitas abrakadabra. Kita memang butuh ahli yang sesungguhnya di bidang apa saja untuk kemajuan kota ini, negara ini dan bangsa ini. Dan ahli kerjasamalah yang paling sulit dicari, sebab kerjasama seringkali tak menguntungkan dari berbagai segi, maka ahli-ahli tersebut seperti khawatir namanya tak terkenal karena ada banyak nama tentunya dalam kerjasama, khawatir tak kebagian jatah karena jatah sekian harus dibagi sekian banyak orang. Maka kerja sendiri-sendiri jadi pilihan meski hasil seringkali tidak nyambung dengan yang lain, yang penting terkenal dan amplop tebal. Dan marilah kita menikmati dan merasakan hasil kerja yang seperti gado-gado dengan beberapa cabai yang masih utuh dan mengganggu di mulut kemajuan, mulut yang maju tangan di belakang. Offside.
--------------------------------------------------
Bojong Indah, Jakarta.
--Djenar Abunetti--
djenar.abunetti@gmail.com
Sent from Nokia Windows Phone.

0 comments:
Posting Komentar