Buntu

Otak saya sedang buntu, mandek, atau mungkin sedang kram akan tetapi saya ingin melanjutkan catatan tentang otak buntu yang saya alami, barangkali saja ada sesuatu dalam kebuntuan tersebut seperti fatwa bijak "di dalam kemandekan ada kelancaran". Buntu atau mentok memang tak enak, cobalah ngebut di gang atau jalan buntu lebih-lebih sakit usus buntu, saya sama sekali tak menginginkannya maka di sinilah saya menemukan nikmatnya otak buntu.

Sejenak saya terdiam mengikuti riak-riak pikiran sebab pikiran (air) beriak tanda tak dalam kata petuah dan lagi-lagi saya harus menconteknya dan memplesetkannya semau saya, ini akibat terlalu banyak membaca petuah, untung saja saya masih mampu menahan muntah. Kedangkalan saya semakin jelas, nah, di kedangkalan tersebut saya tenggelam, tenggelam memaknai apa itu dalam?, apa itu dangkal?. Jika kosong adalah isi dan isi adalah kosong lantas bolehkah saya memaksa memaknai dalam itu dangkal dan dangkal itu dalam, bagus itu jelek dan jelek itu bagus dan seterusnya. Lalu apa gunanya rumus-rumus yang sedemikian njlimet untuk kehidupan ini, bukankah hidup itu sederhana? Atau sederhana itu njlimet?

Otak saya semakin buntu, saya menyerah pada diri saya sendiri, pada rumus yang menurut saya sangat "nggedabrus" (bohong besar) bahwa hidup ini begini, hidup itu begitu. Lalu apa gunanya kita memperdebatkan sebuah makna hidup? Apakah makna hidup itu lebih penting dari hidup itu sendiri?
-----------------------------


--Djenar Abunetti--
djenarabunetti@yahoo.com
Sent from my Nokia