To : Igniz
Hai, aku ingin bicara denganmu saat ini. Iya bicara tentang apa saja, soal ledakan bintang di langit sana atau tentang bangunan-bangunan tua yang hampir roboh di tengah ledakan pembangunan, bicaralah seolah kita tahu segalanya seperti saat kita menerjemahkan sekehendak hati sambil tertawa dan menebak-nebak apa yang diucapkan sepasang remaja di depan mata kita.
Seperti yang kau tahu, dengan bicara kita bisa mencairkan suasana, suasana yang lama kita tunggu. Bicaralah, aku akan mendengar apa saja yang kau bicarakan, takan kusumbat telingaku, dan aku pun ingin bicara banyak, iya banyak sekali yang ingin kukatakan meski kadang baru teringat setelah kita berpisah, dan aku seperti harus membawa catatan pada pertemuan berikutnya, catatan yang lupa untuk ditanyakan, yang ingin diceritakan dan yang ingin kuungkapkan.
Kali ini Aku sedang ingin bercerita tentang Rasim, pria berperut buncit, dan bicaranya secepat kereta dan sulit dipahami artinya dan kadang aku harus menanyakannya kembali apa yang baru saja dia katakan. Malam ini Rasim tertidur pulas dengan sarung kotak-kotak hijau melilit perut buncitnya, mendengkur pelan, nyaris tak terdengar seperti mobil phanter. Kau tahu rasanya berbincang dengannya? Sungguh penuh rasa aneh yang menjalari kepalaku, kadang aku berpikir ada apa dengan lidahnya atau mungkin dengan saraf lain yang berhubungan dengan mulut, hingga Dia bisa bicara secepat kita menangkap barang gratisan. Aku seperti orang tuli, iya terkadang begitu, karena tak paham apa yang dibicarakan. Atau aku memang tuli? Entahlah.
Tapi setidaknya itu lebih baik daripada diam tak jelas, seperti yang sering kulakukan padamu. Oo..aku mulai bisa bicara jujur sepertinya, dan aku berharap jangan mencelaku "kau mulai jujur", karena akan menghentikan pembicaraanku.
----------------------------------------
Jakarta
--Djenar Abunetti--
djenar.andromeda@gmail.com.
Sent from my BlackBerry 10


0 comments:
Posting Komentar