Ular di kepalaku mendesis-desis dan menjulurkan lidahnya yang bercabang, binatang ini keluar masuk semaunya di tiap rongga kepala dan membelit semua pikiran yang hendak keluar melalui jari-jari dan mulutku, membelitnya semakin kuat hingga pikiran-pikiranku semakin tak berdaya, remuk redam, seluruh kerangkanya pikiranku menjadi kepingan. Ular di kepalaku tak jua pergi meski semua telah hancur ia tetap tinggal, bertelur dan beranak pinak semakin hari semakin banyak, tak terhitung jumlahnya sementara induknya semakin membesar, semakin panjang? semakin kuat membelit. Ular di kepalaku terus tumbuh, sisik-sisiknya berjatuhan, keluar dari lubang hidung, mulut dan telinga tak mengenal waktu.
Sisik ular di kepalaku berjatuhan di mana aku berada, di pasar, tempat kerja, tempat ibadah, kamar mandi dan di tempat tidur. Awalnya aku tak peduli dan tak menganggapnya serius tentang sisik-sisik itu, namun lama kelamaan aku mulai terganggu dengan sisik-sisik yang terjatuh, suara jatuhnya yang seperti uang receh, warnanya yang keperakan menyilaukan tertimpa cahaya dan jumlahnya yang terus bertambah mulai menggangguku, anggota keluarga dan tetangga. Beberapa rumah sakit kudatangi untuk memeriksakan keadaanku dan semua dokter tak mengerti apa penyakitku dan tak percaya jika ada ular di kepalaku. Ular-ular di kepalaku semakin banyak, kadang anak ular mengintip di celah mata dan ekornya di telinga di lain waktu mendesis di sela gigi-gigiku, aku yang dulu tak dikenal kini semua orang membicarakanku dan memanggilku manusia ular, manusia berkepala ular, aku mulai jarang di rumah dan lebih sering bersembunyi dari orang-orang yang ingin bertemu sekedar menanyakan keadaanku atau mengambil sisik-sisik yang jatuh sebagai bahan perhiasan seperti bandul kalung, ditempelkan seperti sticker di motor, di mobil sampai becak. Aku semakin sulit bersembunyi sebab orang-orang mudah mengikuti jejak sisik-sisik yang terjatuh.
Ular di kepalaku semakin besar dan kuat sementara tubuhku semakin ringkih digerogoti anak-anak ular, aku tak lagi senang bicara, bercanda dan mendengar. Terkadang aku marah ketika ekor anak ular yang jahil menggelitiki telingaku dan menariknya kuat-kuat namun anehnya aku merasa sakit yang luar biasa, mungkin anak-anak ular di kepalaku berpegangan dengan membelit erat sesuatu di kepalaku. Waktu terus berlalu tak ada yang peduli lagi tentang ular di kepalaku, orang-orang tak lagi menganggapnya aneh dan tak lagi mau memunguti sisik-sisik yang mulai mengelam, tak kilau lagi. Aku menjadi asing dengan dunia, tak mampu lagi berbicara seperti manusia lainya selain desis yang tak kumengerti, desis yang begitu asing. Aku ingin kembali menjadi manusia normal yang tak mendesis, tak mengeluarkan sisik aku harus mengakhiri semuanya, ya semuanya tanpa induk ular di kepala dan anak-anaknya, merekalah penyebabnya, malam ini ular-ular itu harus mati, dengan pistol ini akan kutembak ular di kepalaku.
-------------------------
Cirebon, Talun
--Djenar Abunetti--
djenarabunetti@nokiamail.com
Sent from my Nokia