Pada Sebuah Toko Sepatu

Ia ingin menceritakan padanya sebuah jiwa yang terlalu lelah terhadap pergulatan, pencarian dan kerasnya hidup namun pada akhirnya lebih dekat dengan kejernihan, seperti terang fajar yang buyar.

Ia ingin menceritakan padanya tentang sebuah jiwa yang sepi, tanpa gejolak, membosankan dan tanpa petualangan yang pada akhirnya lebih dekat dengan keputusasaan dan bunuh diri.

Perempuan ini penuh misteri ia datang dan pergi tanpa permisi tanpa jejak yang bisa ditelusuri, kadang muncul seperti bidadari lalu pergi seperti pelangi, pelan namun pasti seiring terbenamnya matahari. Satu yang kuyakini bidadari ini punya banyak ID, tanpa wajah asli. Sepintas mirip Hilary, pakar konspirasi. Dugaanku? La esterella.

Lelaki itu tak menyukai gayanya yang mendayu-dayu, penuh sedu sesekali keras seperti reruntuhan batu, kendati itu palsu. Inilah aku, menggerutu dan berlalu.

Aku mendengar keduanya saling menipu dari balik rak toko sepatu, ketika aku meneleponmu dan menanyakan berapa ukuran sepatumu.

''Ini era 2.0 bukan lagi era Jaka Tarub, bidadari tak lagi melintasi pelangi dan mandi di sendang, tapi dia akan turun dari taksi, berusaha masuk tivi dan mandi di sauna, jangan coba mencuri syalnya, curi saja ipadnya, BBnya atau penuhi saja rekeningmu dan tunjukan padanya. Ini memang era paling sialan mas, sabar saja'' kataku padanya. Ia tergelak, ''kau betul bidadari jadi lebih sulit diperdaya akibat mengenal gagasan feminisme Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet''.

Damn.
--------------------------
Galuh Timur


--Djenar Abunetti--
djenar.abunetti@gmail.com
Sent using a Sony Ericsson mobile phone